[Perjalanan] Sejarah Kelam dari Gua Jepang -Bukittinggi

— Posting sangat telat. (Catatan : 24/8/2013) 

Tak salah jika Kota Bukittinggi- Sumatera Barat dijuluki kota Sejarah. Di kota kecil ini, sederet destinasi menakjubkan akan mengajak pengunjung mengenal sejarah Indonesia dari dekat, di samping tentunya sejarah lokal Minang yang menawan, seperti rumah / istana Bung Hatta, Benteng Fort De Cock, Gua Jepang, Jam Gadang, dan Ngarai Sianok yang terkenal karena fotonya diabadikan pada lembar uang Rp. 1000. Semua destinasi tersebut berada di lokasi berdekatan, tak jauh dari pusat kota Bukittinggi, hingga semuanya dapat dijajaki dalam sekali agenda “jalan-jalan”.

Area Gua Jepang (kadang disebut juga Lobang Jepang), dapat dimasuki dari beberapa pintu yaitu dari Taman Panorama di area wisata alam Ngarai Sianok, dari samping Istana Bung Hatta, dan dari Kebun Binatang Bukittinggi. Dari pintu masuk di area Taman Panorama, kesan seram telah terasa sejak memasuki gerbang. Diameter gua yang tidak terlalu lebar (sekitar 2 meter), sorot lampu yang agak temaram, ditambah konstruksi tangga gua yang cukup terjal, menungging ke bawah dengan sangat curam, mengesankan gua tersebut memang dirancang tidak main-main untuk sebuah tujuan : “pembantaian”. Memasuki gua, ada sekitar 135 anak tangga harus dilalui. Perlu ekstra hati-hati menuruninya karena tangga tersebut cukup terjal dan penerangan yang (sengaja) dibuat temaram.  Beruntung, di bagian tengah ada pagar besi yang berfungsi sebagai penyangga tangan, agar lebih aman

Pintu Masuk menuju Gua

Pintu Masuk menuju Gua

Menurut situs resmi pemerintah kota Bukittinggi, kedalaman gua ada di 40 meter dari permukaan tanah, sebuah kedalaman yang cukup “aman” untuk tentara Jepang bersembunyi, dan tentunya aman pula “membantai”.

Pada awal ditemukan, gua tersebut hanya berupa lobang dengan diameter 20 cm, hampir tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa di dalamnya adalah satu “kawasan terpadu”, sebuah camp pembantaian. Tentang hal ini, saya menyamakan Lobang Jepang dengan kisah pada Novel “Malam” karya Ellie Weisel, yang menceritakan sebuah camp pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi – Jerman.

Gua Jepang  telah lama ada, yakni sejak pendudukan Jepang di Indonesia. Dibangun oleh para pekerja paksa – Romusha – yang berasal dari luar Bukittingi. Mereka umumnya berasal dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera Selatan dan wilayah lain, yang pada akhirnya menemui ajal di sana karena kekurangan makanan dan siksaan tentara Jepang. Entah berapa ribu orang wafat demi “mega projek” impian Jepang ini.

Pada awal pembangunannya sekitar tahun 1942, gua ini ditujukkan sebagai terowongan (bunker) perlindungan untuk kepentingan pertahanan, untuk menyimpan perbekalan dan peralatan perang. Pada tahun 1984, lokasi ini mulai dibuka sebagai tujuan wisata, oleh pemerintah Bukittinggi. Dengan panjang 1400 meter (dari total diperkirakan 5000 meter keseluruhan gua di wilayah Bukittinggi), gua ini cukup meminta waktu jika kita berniat memaknai sejarah pada setiap jengkalnya.

Dari struktur tanah hingga denah ruangan, gua ini dirancang dengan sangat matang. Sempit, berkelok-kelok, dan memiliki banyak sudut rahasia, mencerminkan buah tangan arsitek yang brilian untuk sebuah lokasi “pembantaian” dan persembunyian 🙂 Konstruksi tanahnya cukup unik, yakni jika bercampur dengan air, akan semakin kokoh. Saat gempa mengguncang Sumatera Barat tahun 2009, struktur gua tersebut tak terpengaruh. Serdadu Jepang telah memilih lokasi yang apik dan penuh perhitungan untuk mencapai tujuannya. Banyak yang berpendapat, seandainya tidak terjadi pemboman atas Hirosima dan Nagasaki, pastilah Bukittinggi akan dijadikan kota terowongan atau kota gua oleh tentara Jepang.

Struktur tanah & batu pada dinding dan atap gua, yang kian mengeras jika kena air (Dok. AN)

Struktur tanah & batu pada dinding dan atap gua, yang kian mengeras jika kena air (Dok. AN)

Sampai di ujung tangga, terkuaklah rahasia strategi pertahanan dan pembantaian Jepang. Di dalamnya ada sekitar 27 ruangan kecil dengan aneka fungsi. Di samping sebagai penyimpan amunisi dan barak, gua tersebut juga dilengkapi dengan penjara, “dapur” (tempat menjagal manusia), ruang makan, ruang sidang, ruang pengintai, ruang penyergapan, ruang penyiksaan, dan lain-lain (lihat denah).

Denah mencerminkan lorong-lorong menuju berbagai ruang, berjarak total 1400 meter (Dok. AN)

Denah mencerminkan lorong-lorong menuju berbagai ruang, berjarak total 1400 meter (Dok. AN)

Menyusuri lorong demi lorong, akan dirasa sulit jika tanpa pemandu, ditambah lagi suasana mencekam yang tak mudah lekang dari perasaan. Namun, siapapun yang datang, selayaknya penasaran untuk melihat semua sudut, mengenal salah satu peninggalan sejarah kelam nusantara, agar lorong demi lorong yang panjang tak satupun terlewat. Jepang menjajah kita memang tak lama dibanding masa penjajahan Belanda. “Hanya” 3,5 tahun, tetapi sengsara dan sejarah penjajahannya, dikenal demikian dashyat.

Pintu yang dibangun untuk “menunggu” siapapun yang lewat, lalu siap disergap di pintu “penyergapan” (Dok. AN)

Pintu yang dibangun untuk “menunggu” siapapun yang lewat, lalu siap disergap di pintu “penyergapan” (Dok. AN)

Di lorong-lorong yang gelap itu, beberapa ruang telah diberi keterangan, agar pengunjung memahami seluk-beluk semua ruangan yang ada. Ruang pengintaian, digunakan untuk mengintai “pemberontak” yang melarikan diri, atau siapapun yang lewat dan layak ditangkap. Hanya jarak beberapa meter dari sana, ada ruang penyergapan, lokasi yang dirancang untuk menyergap siapapun yang telah kena “lensa” pengintai. Jika ada pekerja yang membangkang, sudah dipastikan  masuk ke penjara nan sempit dan gelap. Manusia bertumpuk di sana, hingga Izrail datang mengangkat nyawa.

Pintu yang dibangun untuk “menunggu” siapapun yang lewat, lalu siap disergap di pintu “penyergapan” (Dok. AN)

Pintu yang dibangun untuk “menunggu” siapapun yang lewat, lalu siap disergap di pintu “penyergapan” (Dok. AN)

Selanjutnya, setiap mayat yang ada akan dibuang melalui sebuah lobang kecil. Lobang ini dirancang secara langsung menghadap sebuah ngarai yang dalam dan terjal, yang memungkinkan bau amis mayat tak dapat masuk ke wilayah gua.

Inilah lobang tempat membuang mayat, yang wafat karena kelaparan atau wafat setelah dibantai. Konon, mayat tersebut langsung meluncur, menuju ngarai yang terjal dan dalam (Dok. AN)

Inilah lobang tempat membuang mayat, yang wafat karena kelaparan atau wafat setelah dibantai. Konon, mayat tersebut langsung meluncur, menuju ngarai yang terjal dan dalam (Dok. AN)

Terlepas dari cerita mistis yang kerap mewarnai keberadaan gua ini (konon seringkali ada “penampakan” di beberapa ruangan), Gua Jepang adalah saksi sejarah, yang layak dikenang. Ribuan nyawa tak dikenal melayang sia-sia di sana. Siapapun yang berkesempatan menginjakkan kaki di kota Bukittinggi, jangan pernah melewatkan bertandang ke situs  bersejarah ini. Satu hal yang hingga kini masih menjadi misteri, ke manakah tanah & bebatuan bekas galian gua yang sangat panjang itu dibuang ? Hingga kini belum ada ahli atau siapapun yang berhasil menelusurinya. Benar-benar masih misteri.

Berbeda dengan pintu masuk yang masih mempertahankan bahan-bahan asli, Pintu keluar telah dipoles dengan sentuhan modern, lantai dan dinding gerbang tak lagi berbahan asli

Berbeda dengan pintu masuk yang masih mempertahankan bahan-bahan asli, Pintu keluar telah dipoles dengan sentuhan modern, lantai dan dinding gerbang tak lagi berbahan asli

Setelah menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam, tibalah di lobang yang menghadap langsung ke jalan raya, dan pemandangan hutan yang tampak masih perawan. Tepat ketika keluar dari gua, entah mengapa, rasa geram terhadap Jepang tiba-tiba demikian kuat menyergap perasaan. Beruntung, tak satupun dari rombongan kami adalah orang Jepang. Jika ada, entahlah ..  apakah saya bisa mengontrol diri untuk tidak berniat membalas. Menurut cerita penduduk di sana, orang Jepang tak pernah berani masuk ke gua itu, setelah ada kejadian pengunjung yang berpikir sama dengan saya, bertindak seperti yang dapat kita bayangkan : membalas pembantaian itu secara emosional dan “tindakan menyerang”   🙂  🙂

Pos ini dipublikasikan di Catatan Perjalanan dan tag , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar